Minggu, 08 Januari 2012

Hubungan Arung Palakka Dengan Soppeng

ARUNG PALAKKA PETTA MALAMPEE GEMME’NA
Adalah Raja Bone ke-15 lahir pada 15 September 1634. Nama lengkapnya adalah Arung Palakka La Tenri Tatta Petta Malampee Gemme’na. Dalam sejarah Sulawesi Selatan di abad ke-17, khususnya dalam perang Makassar nama Latenri Tatta Arung Palakka tidak dapat dipisahkan. Menurut Mr. Strotenbekker, seorang sejarawan Belanda dalam bukunya tertulis silsilah yang menyatakan, bahwa Datu Soppeng ri Lau yang bernama Lamakkarodda Mabbelluwa’E kawin dengan We Tenri Pakku Putri raja Bone ke-6 La Uliyo Bote’E MatinroE ri Itterung.
Dari perkawinan ini lahir seorang putri yang bernama We Suji Lebba’E ri Mario. We Suji Lebba’E kawin dengan Raja Bone ke-11 Latenri Rua Sultan Adam matinroE ri Bantaeng, Raja Bone yang pertama kali memeluk agama Islam.
Dari perkawinan itu lahir seorang putranya yang bernama We Tenri Sui’ Datu Mario ri Wawo. We Tenri Sui’ kawin dengan seorang bangsawan Soppeng yang bernama Pattobune. Datu Lompuleng Arung Tana Tengnga. Dari perkawinan itu lahir :
1.Da Unggu (putri)
2.Latenri Tatta Arung Palakka (putra)
3.Latenri Girang (putra)
4.We Kacumpurang Da Ompo (putri)
5.Da Emba (putri), dan
6.Da Umpi Mappolobombang (putri)

Jadi Latenri Tatta Arung Palakka adalah bangsawan Bone dan Soppeng, cucu dari Raja Bone ke-11 La Tenriruwa La Pottobune bertempat di Lamatta di daerah Mario ri Wawo dalam wilayah kerajaan Soppeng. Dari enam orang anak La Pottobune Datu Lompuleng Arung Tana Tengnga dengan isterinya We Tenri Sui Datu Mario ri Ase, ada dua orang diantaranya yang menjadi pelaku sejarah Bone di abad ke-17 yaitu :
1.La Tenri Tatta Daeng Serang yang memimpin peperangan melawan kekuasaan Gowa, dan
2.We Mappolobombang yang melahirkan Lapatau matanna Tikka Raja Bone ke-16


Oleh karena itu La Tenri Tatta Arung Palakka tidak mempunyai anak, sekalipun istrinya (I Mangkau Daeng Talele) sangat mengharapkannya, maka ia mengangkat keponakannya yang bernama La Patau menjadi raja Bone ke-16 dengan gelar Sultan Alamuddin Petta MatinroE ri Nagauleng.
Arung Palakka, diantara bangsawan-bangsawan Bone dan Soppeng yang diasingkan dari negerinya, setelah Baginda La Tenri Aji kalah dalam pertempuran di Pasempe pada tahun 1646, terdapat Arung Tana Tengnga La Pottobune dan ayahnya, yaitu Arung Tana Tengnga Tua
Wilayah kepangeranan Tana Tengnga terletak di tepi sungai WalenneE berdekatan dengan Lompulle dan bernaung di bawah daulat Kerajaan Soppeng. Dalam pengasingan itu La Pottobune membawa serta istrinya, We Tenri Sui Datu Mario ri Wawo dan putranya La Tenri Tatta yang baru berusia sebelas tahun. Ada lagi empat anak perempuannya, akan tetapi mereka itu ditinggalkan dan dititipkan pada sanak keluarganya di Soppeng, karena takut jika mereka akan mendapat cedera dalam pengasingannya. Mereka itu ialah :
1.We Mappolobombang, yang kemudian menjadi Maddanreng Palakka dan menikah dengan Arungpugi atau Arung Timurung La PakkokoE Towangkone, putra Raja Bone La Maddaremmeng;
2.We Tenrigirang, yang kemudian bergelar Datu Marimari dan kawin dengan Addatuang To dani, Raja dari lima Ajangtappareng (Sidenreng Rappang, Alitta, Sawitto, dan Suppa);
3.Da Eba, yang kemudian menikah dengan Datu Tanete Sultan Ismail La Mappajanci;
4. Da Ompo

Adapun We Tenri Sui adalah anak Sultan Adam La Tenri Ruwa, Raja Bone ke-11 yang wafat dalam pengasingan di Bantaeng, karena ia lebih memilih memeluk agama Islam dari pada tahta Kerajaan Bone.
Dat We Tenri Sui memberikan pula gelaran Datu Mario ri wawo kepada La Tenri Tatta. Dengan gelaran itulah pangerang ini terkenal sehingga ia diakui oleh Aruppitu dan rakyat Bone sebagai Arung Palakka. Suatu kedudukan dan gelaran yang menurut adat telah diberikan kepada pangerang yang terdekat dari tahta Kerajaan Bone. Pengakuan yang menjadikannya orang pertama diantara semua bangsawan bone itu, diperolehnya dalam tahun 1660, menjelang perang kemerdekaan melawan Gowa, di mana ia memegang peranan terpenting di samping To Bala.
Situasi Tahun 1646
Apabila dikembalikan ke situasi 1646, maka sekilas dapat digambarkan sebagai berikut. Tawanan-tawanan perang orang Bone dan Soppeng kebanyakan diangkut ke Gowa, di mana mereka dibagi-bagi ke antara bangsawan-bangsawan Gowa. Arung Tana tengnga dan keluarganya jatuh ke tangan Mangkubumi Kerajaan Gowa, I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang. Ia adalah seorang yang terkenal budiman dan berpengetahuan luas. Para tawanannya diperlakukan dengan remah-remah. La Tenritatta dijadikannya Pembawa Puan. Karena tugas itu, maka Pangeran selalu ada di dekat beliau, sehingga tidak sedikit ia mendapat didikan dan ilmu pengetahuan dari ucapan-ucapan serta sikap sehari-hari dari pengendali kemaharajaan Gowa yang termasyhur sangat pandai dan bijaksana itu. Ia juga disegani oleh setiap kawan dan lawannya.
Di kalangan para pemuda bangsawan Gowa, La Tenritatta terkenal dengan nama Daeng Serang. Dengan mereka itu ia berlatih main tombak, kelewang, pencak silat, raga,dan berbagai permainan olah raga lainnya. Dalam pertandingan-pertandingan tidak jarang Daeng Serang menjadi juara. Konon dalam permainan raga tigak ada tandingannya di masa itu.
Menurut berita, roman muka dan fisiknya sangatlah menarik dan mengesankan ; dahinya tinggi, hidungnya mancung, matanya tajam menawan, dagunya tajam alamat berkemauan keras. Tubuhnya semampai, berisi, dan kekar.
Rupanya Karaeng Pattingalloang sayang dan bangga akan pramubaktinya yang bangsawan, gagah dan cerdas itu. Karaeng Serang dibiarkannya bergaul dengan pemuda-pemuda lainnya bagaikan kawan sederajat dengan pemuda-pemuda bangsawan Gowa. Bahkan diperkenalkannya kepada Sultan. Datu Mario alias Daeng Serang telah menjadi buah tutur di antara bangsawan-bangsawan muda dan rakyat ibukota Kerajaan Gowa.
Sayang bagi keluarga Arung Tana Tengnga, Karaeng Pattingalloang lekas wafat yaitu pada tanggal 15 September 1654. Merekapun berganti tuan, yaitu berpindah ke tangan Karaeng Karungrung, yang menggantikan ayahnya sebagai Mangkubumi Kerajaan Gowa. Dia ini terkenal sebagai seorang yang sangat keras tabitnya, tidak seperti ayahnya yang halus budi bahasanya dan baik hati sesamanya manusia.
Pada waktu itu Datu Mario telah menjelang 20 tahun usianya. Ia telah dewasa. Akibat perlakuan tuan barunya yang jauh berbeda dengan ayahnya yang telah meninggal, disadarinya dengan pahit akan kedudukannya sekeluarga sebagai tawanan perang yang pada hakekatnya tidaklah berbeda dengan kedudukan budak. Mereka tidak bebas kemana-mana, harus melakukan segala kehendak tuannya, makan minumnya tergantung daripadanya, nasibnya terserah sepenuhnya kepada balas kasihan atau kesewenang-wenangan tuannya itu.
Mengenai tawanan-tawanan lain, diantaranya terdapat beberapa orang dari Soppeng seperti Arung Bila Daeng Mabela, Arung Belo To Sade, dan Arung Appanang. Nasib beliau itu tidaklah lebih baik dari Datu Mario. Sejak semula mereka menginjakkan kaki di bumi Gowa, mereka mengalami perlakuan-perlakuan yang pahit. Tidaklah heran kalau mereka itu setiap saat memanjatkan doa, agar tanah air mereka segera merdeka kembali dan mereka dapat pulang kembali ke Bone bersatu dengan sanak keluarganya.
Dalam pada itu rakyat Bone sendiri merintih, tertindih di bawah berbagi macam beban yang ditimpakan oleh Kerajaan Gowa di atas kepala mereka. Jennang To Bala tidaklah sanggup membela mereka itu. Oleh karena itu di sinipun rakyat sedang mengimpikan turunnya seorang malaikat kemerdekaan yang akan segera melepaskan mereka dari penderitaan perbudakan tahun 1660.
Pada pertengahan tahun itu Jennang To Bala mendapat perintah dari Karaeng Karungrung, supaya secepat mungkin mengumpulkan sepuluh ribu orang laki-laki untuk dibawa segera ke Gowa menggali parit dan membangun kubu-kubu pertahanan, di sepanjang pantai di sekitar ibukota Somba Opu. To Bala sendiri diharuskan mengantar mereka itu ke Gowa.
Pada akhir bulan Juli tibalah Arung Tanete To Bala dengan sepuluh ribu orang Bone di Gowa. Orang sebanyak itu diambilnya dari berbagai golongan, lapisan, dan umur. Ada petani, nelayan, pandai kayu, ada orang kebanyakan, budak, bahkan bangsawan, dan ada yang nampaknya masih kanak-kanak akan tetapi tidak kurang pula yang sudah putih seluruh rambutnya serta sudah ompong. To Bala tidaklah sempat lagi memilih hanya orang-orang yang kuat saja, atau mereka yang sedang menganggur saja, atau pun hanya orang kebanyakan dan hamba sahaya.
Mereka membawa bekal, pacul atau linggis sendiri. Banyak di antara mereka itu yang sakit ketika tiba di Gowa, terutama yang masih kanak-kanak atau yang sudah terlalu tua. Mereka tidak tahan melakukan perjalanan ratusan kilometer jauhnya, naik gunung, turun gunung, masuk hutan, keluar hutan. Banyak yang berangkat dengan bekal yang tidak cukup karena tidak ada waktu untuk mempersiapkannya. Mereka diambil paksa dari tempat pekerjaannya dan dari anak istri atau orang tuanya.
Datu Mario dan tawanan-tawanan perang Bone lainnya yang kesemuanya orang-orang bangsawan mengetahui akan hal itu. Banyak di antara mereka yang datang untuk menengok orang-orang senegerinya itu ketika mereka baru tiba. Malahan Datu Mario sering mengawal Karaeng Karungrung, apabial mereka pergi memeriksa kemajuan pekerjaan menggali parit dan membangun kubu-kubu pertahanan itu.
Iba hati pangerang itu melihat penderitaan orang-orang senegerinya. Mereka bekerja dari pagi sampai petang, hanya berhenti sedikit untuk makan tengah hari dari bekal mereka yang terdiri dari nasi jagung dan serbuk ikan kering yang lebih banyak garam dari pada ikannya. Sungguh sangat menyedihkan mereka itu. Apalagi waktu itu musim kemarau, panas terik bukan kepalang di tepi pantai. Celakalah barang siapa yang dianggap malas. Mereka didera dengan cambuk oleh mandor-mandor yang tidak mengenal perikemanusiaan. Orang-orang yang dikhawatirkan akan membangkang, kakinya dibelenggu (risakkala).
Karena pekerjaan yang telampau berat itu, sedang makanan amat kurang, lagi pula obat-obatan tidak ada, banyaklah di antara pekerja-pekerja itu yang jatuh sakit. Kebanyakan yang sakit tidak sembuh lagi. Mereka mati jauh dari anak istri dan ibu bapak mereka.
Tidaklah mengherankan, kalau di antara para pekerja yang malang itu ada yang berusaha melarikan diri. Maka celakalah apabila ia tertangkap kembali. Ia didera setengah mati, lalu disuruh bekerja dengan kaki terbelenggu (risakkala) untuk waktu yang lama. Akan tetapi tidak tahan dengan penderitaan, maka banyaklah pekerja yang melarikan diri. Mangkubumi Karaeng Karungrung amat murka akan hal itu. Beliau berkehendak, supaya parit-parit pertahanan di sekitar Somba Opu, Jumpandang dan Panakkukang serta kubu-kubu pertahanan sepanjang pantai selesai November. Untuk mengganti pelarian-pelarian yang tidak tertangkap kembali, maka diperintahkannya semua tahanan perang pria yang ada di ibukota ikut serta pada pekerjaan itu.
Datu Mario dan bangsawan-bangsawan lain, baik yang dari Bone maupun yang dari Soppeng turut menggali dan mengangkat tanah pada setiap harinya. Ayah Datu Mario, karena sudah terlalu tua dan sering sakit-sakitan dibebaskan dari pekerjaan fisik yang amat berat itu. Pada suatu hari diawal bulan September 1660 itu, Datu Mario pulang dari menggali parit, didapati ayahnya meninggal. Beliau dikatakan telah dibunuh pada pagi hari itu dengan sangat kejam, karena ia mengamuk di hadapan Sri Sultan, disebabkan karena bermata gelap, melihat beberapa orang Bone yang disiksa sampai mati. Mereka itu adalah pelarian dari tempat penggalian parit-parit, ditangkap kembali oleh orang Gowa.
Arung Tana Tengnga Tua, Nenek Datu Mario, beberapa tahun sebelumnya telah pula meninggal dengan cara yang serupa. Menurut berita, beliaupun mengamuk di depan para pembesar Kerajaan Gowa. Beliau ditangkap lalu dibunuh dengan cara yang amat kejam pula. Datu Mario bersumpah akan menuntut balas terhadap kematian ayah dan neneknya serta sekian banyak orang Bone lainnya. Maka direncanakannya suatu pemberontakan secara besar-besaran untuk melepaskan Bone dari penjajahan dan perbudakan Gowa.
Pada suatu hari dalam pertengahan bulan September itu sementara Sultan Hasanuddin bersama dengan segala pembesar kerajaannya berpesta besar di Tallo, Datu Mario menggerakkan semua pekerja parit orang Bone yang hampir sepuluh ribu orang jumlahnya itu bersama dengan semua tawanan perang dari Bone dan Soppeng melarikan diri dari Gowa. Pelarian itu berhasil dengan gemilang di bawah pimpinan Datu Mario. Pada hari yang keempat petang mereka tiba di Lamuru, Datu Mario segera mengirimkan kurir kilat kepada Jennang To Bala dan Datu Soppeng untuk melaporkan peristiwa besar itu dan mengajaknya bertemu di Attappang dekat Mampu.
Beberapa hari kemudian bertemulah Datu Soppeng La Tenri Bali, Arung Tanete To Bala. Dan Datu Mario Latenri Tatta di Attappang. Pada pihak Datu Soppeng ikut hadir ayahnya Lamaddussila Arung mampu dan Arung Bila. Pada pihak To Bala hadir Arung Tibojong, Arung Ujung, dan sejumlah besar bangsawan Bone. Bersama Datu Mario hadir pula Daeng Mabela, Arung Belo dan Arung Appanang. Atas desakan Datu Mario dan kawan-kawannya, Datu Soppeng segera menyetujui tawaran To Bala untuk mempersatukan Bone dan Soppeng melawan Gowa. Perundingan berlangsung di suatu tempat yang netral yaitu di atas rakit sungai Attapang. Oleh sebab itu persetujuan Bone-Soppeng itu (1660) dinamai “ Pincara LopiE ri Attappang (rakit perahu di Attappang)
Setelah itu pulanglah mereka masing-masing ke negerinya. Datu Mario kembali ke Lamuru menemui laskar-laskarnya, bekas penggali-penggali parit di Gowa yang berjumlah hampir sepuluh ribu orang. Semuanya ingin memikul tombak di bawah Datu Mario untuk menyambut orang Gowa. Akan tetapi oleh Datu Mario diperintahkan yang sudah ubanan sama sekali dan yang belum dewasa harus tinggal di kampung untuk membela wanita-wanita, orang tua-tua, dan anak-anak. Para pengikut lainnya paling lambat setelah sepekan (lima hari) sudah berkumpul kembali di Mario. Menurut perhitungan Datu Mario, paling cepat sepekan lagi barulah laskar Gowa dapat berada di Lamuru. Ibu dan istrinya I Mangkawani Daeng Talele telah dibawanya ke Desa Lamatta, tempat kediaman mereka 14 tahun yang lalu sebelum diasingkan ke Gowa.
Alangkah bahagia perasaan ibunya berada kembali di negeri leluhurnya, di tengah-tengah rakyat yang mencintainya. Sayang sekali, Datu yang telah tua itu tidak lama menikmati kebahagiaan itu di dunia. Oleh Yang Maha Esa, beliau hanya diizinkan menghirup udara Lamatta sepekan lamanya. Penderitaan selama dalam pengasingan, terlebih-lebih dalam bulan yang terakhir setelah meninggal suaminya, ditambah keletihan dalam pelarian dari Bontoala ke Lamuru selama empat hari empat malam sempat juga ia menikmati berita bahagia, bahwa Aruppitu, para bangsawan dan rakyat Bone telah mengakui putranya Datu Mario sebagai Arung Palakka. Di mana ia sebagai ahli waris neneknya yakni Sultan Adam La Tenri Ruwa Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng.
Datu Mario yang kini mulai terkenal sebagai Arung Palakka, tidaklah dapat duduk-duduk bersantai atas kematian ibunya itu, karena telah diterimanya kabar, bahwa laskar Gowa yang berjumlah besar telah mendaki ke Camba untuk menuju Bone. Dalam dua hari kepala laskar itu sudah dapat berada di Lamuru. Dengan segera dikirimnya kurir ke Soppeng dan Bone dengan membawa berita dan meminta, supaya sebagian laskar di kirim ke Lamuru untuk menyambut laskar Gowa di tempat itu. Pada hari yang ketiga barulah laskar Gowa tiba di Lamuru. Petang harinya tiba pula laskar Soppeng hampir bersamaan dengan laskar Bone. Bersatulah mereka untuk menghadapi laskar Gowa. Kedua belah pihak sama kuat. Menurut cerita masing-masing berkekuatan kurang lebih 11.000 orang.
Raja Gowa berusaha memisahkan orang Soppeng dari orang Bone. Baginda mengirim utusan kepada Datu Soppeng dengan pesan, bahwa antara Gowa dan Soppeng tidak ada perselisihan. Janganlah hendaknya orang Soppeng mau diseret oleh orang Bone untuk masuk ke liang lahat. Peperangan ini tidak berarti mengubur diri sendiri bagi orang Bone. Akan tetapi Datu Soppeng dan Arung Bila, ayah Daeng Mabela menjawab, bahwa Soppeng telah bertekad akan sehidup semati dengan saudaranya Bone berdasarkan perjanjian tiga negara (TellumpoccoE) di Timurung. Ketika utusan menyampaikan jawaban datu Soppeng itu kepada Raja Gowa, baginda berkata: “ Baiklah jika demikian, Soppeng rasakan serangan Gowa!”.
Diperintahkannya menyerang Soppeng dan Bone bersama-sama. Kedua belah pihak bertempur dengan tanpa mengenal maut. Datu mario yang kini telah pula bergelar Arung Palakka memimpin laskar yang terdiri dari orang-orang Mario, orang-orang Palakka, dan mereka yang pernah menjadi penggali parit di Gowa. Pada petang harinya sebuah panji orang Soppeng dapat direbut oleh musuh. Pasukan Arung Bila telah tewas sebanyak empat puluh orang. Untunglah malam tiba. Kedua belah pihak mundur ke markas masing-masing. Keesokan harinya orang Bone dan Soppeng mulai menyerang laskar Gowa terdesak mundur, terkepung oleh lawan-lawannya.
Tiba-tiba Orang Soppeng mendapat berita, bahwa laskar Wajo, sekutu Gowa telah melintasi perbatasan Soppeng – Wajo. Negeri-negeri yang mereka lalui habis dibakar. Datu Soppeng memerintahkan laskarnya berbalik meninggalkan medan pertempuran lamuru untuk kembali menghadapi laskar wajo. Akan tetapi laskarnya telah letih, sedangkan laskar wajo masih segar dan jumlahnya pun lebih besar. Setelah bertempur berhari-hari laskar Soppeng menyerah. Arung Bila Tua ayah Daeng Mabela lari menyingkir ke pegunungan Letta. Putrinya We Dimang menyingkir ke arah timur dikawal oleh adiknya, yakni Daeng Mabela. Ibunya dengan dikawal oleh Arung Appanang menyingkir ke Mampu.
Laskar Bone setelah ditinggalkan oleh laskar Soppeng, mundur teratur masuk ke daerah Bone Utara. Dikejar dari belakang oleh laskar Gowa. Mampu, Timurung, dan Sailong menjadilah medan perang. Sial bagi orang Bone laskar wajo yang telah selesai tugasnya di Soppeng karena laskar Soppeng telah menyerah, kini bersatu dengan laskar Gowa.
Namun orang Bone tidaklah putus asa. To Bala dan Arung Palakka selalu berada di garis depan. Seolah-olah mereka sengaja mencari maut. Sikap kedua orang panglimanya membakar semangat orang-orang Bone sehingga mereka berkelahi pula dengan tidak mengindahkan maut.
Pertempuran ini tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang akhirnya keduanya berdamai. Dalam proses perang dan damai antara kedua kerajaan besar di Sulawesi Selatan ini, yaitu antara Gowa dan Bone. Maka akhirnya Datu Mario Arung palakka La Tenri Tatta Petta Malampe’E Gemme’na pada tanggal 6 April 1698 di dalam istananya di Bontoala dengan amanatnya sebelum wafat, supaya Baginda di makamkan di Bukit Bontobiraeng dalam wilayah kerajaan Gowa. Juga permaisuri baginda yang teamat dicintainnya I Mangkawani Daeng Talele dan telah ikut bersama Baginda mengalami suka duka perjuangannya, turut pula dimakamkan di tempat itu sesuai dengan amanat baginda Arung Palakka sendiri.

TEMPAT - TEMPAT MENARIK KABUPATEN SOPPENG

1. OMPO

Berkunjung ke Kabupaten Soppeng, tak lengkap rasanya bila tak datang ke Kawasan Wisata Ompo atau biasa disebut dengan KWO. Ompo merupakan satu dari beberapa andalan wisata Pemerintah Kabupaten Soppeng

UNTUK sampai ke Ompo, dibutuhkan waktu sekitar lima menit perjalanan naik mobil atau motor dari kota Watansoppeng. KWO terletak di pinggir utara Watansoppeng atau dengan jarak tempuh tidak lebih dari tiga kilometer. Letaknya di Kelurahan Ompo Kecamatan Lalabata.

Permandian Ompo merupakan salah satu objek wisata yang layak dikunjungi, terutama bagi mereka yang ingin berekreasi bersama keluarga atau teman-teman. Wisata permandian itu sangat dikenal masyarakat, baik Kabupaten Soppeng maupun luar daerah. Meski demikian, Pemkab Soppeng menganggap Ompo, objek wisata andalan kedua setelah air panas Lejja.

Setiap hari libur, Ompo ramai dikunjungi masyarakat. Tak heran setiap tahunnya angka kunjungan meningkat cukup signifikan. Di tempat itu, pengunjung bisa berenang sepuasnya di kolam yang memiliki kejernihan air cukup bagus. Selain hawa sejuk, Ompo juga dikenal dengan kesegaran suasananya.

Bahkan warga sekitarnya menjadikan sumber mata air Ompo sebagai sumber air bersih untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Masuk ke dalam area Ompo, pengunjung tak perlu menguras kucek dalam-dalam. Harga tiket tergolong murah. Untuk dewasa hanya Rp 5000/orang dan anak-anak sebesar Rp 3000/orang. Dengan tiket yang cukup terjangkau itu, pengunjung sudah bisa menikmati mandi sepuasnya di dua kolam renang yang disiapkan pengelolah masing-masing kolam renang khusus anak dan dewasa. 

ini merupakan peninggalan awal mula terbentuknya ompo
 











Selain itu anda juga dapat Menikmati indahnya Waduk yang berada di sekitar Ompo



























2. LEJJA
Berkunjung ke Kabupaten soppeng tidak lengkap rasanya klo tidak mampir ke permandian air panas LEJJA. Air panas Lejja merupakan salah satu objek wisata teratas dikunjungi oleh wisatawan domestik dan asing. Suhu air panas Lejja adalah sekitar 60 derajat Celcius, dengan kandungan sulfur 1,5%, yang mampu menyembuhkan beberapa penyakit seperti rematik dan gatal. Obyek wisata ini juga dilengkapi dengan beberapa fasilitas seperti air bersih, listrik, area parkir, kolam untuk menenggelamkan, guest house, lapangan tenis, dan Baruga wisata (ruang pertemuan). Baruga wisata adalah rumah pertemuan khusus dengan beberapa kamar tidur yang cocok bagi pengunjung yang ingin menginap. Hal ini terletak di ngarai, di dalam hutan tempat kudus, yang indah, sejuk, dan pemandangan segar, di Paroki Bulue, Kecamatan Marioriawa. Sekitar 44 KM di Utara Watansoppeng, 

KABUPATEN SOPPENG

Kabupaten Soppeng adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Watansoppeng. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.359,44 km2 dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 250.000 jiwa. Soppeng mempunyai 8 kecamatan yakni :
  1. Citta
  2. Donri Donri
  3. Ganra
  4. Lalabata
  5. Liliriaja
  6. Lilirilau
  7. Marioriawa
  8. Marioriwawo


SEJARAH
Sejarah Soppeng diawali dengan munculnya "Tomanurung" dalam istilah bahasa Indonesia dikenal sebagai orang yang muncul seketika. Saat itu, masyarakat Soppeng tengah dilanda kegetiran dan kemiskinan ditambah dengan penderitaan rakyat, maka berkumpullah tokoh-tokoh masyarakat "tudang sipulung" untuk membahas masalah ini, di tengah pembicaraan mereka, seekor burung kakak tua (dalam bahasa Bugis dikenal sebagai "cakkelle"). Cakkelle ini terbang tepat di atas perkumpulan itu, sehingga para tokoh yang melihatnya merasa ada sesuatu yang lain dari cakkelle ini. Akhirnya pimpinan tudang sipulung menyuruh si Jumet, salah seorang toko masyarakat bersama dengan rekannya yang lain untuk mengikuti cakkelle tersebut.

SEJARAH TERBENTUKNYA KERAJAAN SOPPENG
Soppeng adalah sebuah kota kecil dimana dlm buku-buku lontara terdapat catatan tentang raja-raja yg pernah memerintah sampai berahirnya status daerah Swapraja, satu hal menarik sekali dalam lontara tsb bahwa jauh sebelum terbentuknya kerajaan Soppeng, telah ada kekuasaan yg mengatur daerah Soppeng, yaitu sebuah pemerintahan berbentuk demokrasi karena berdasar atas kesepakatan 60 pemukan masyarakat, namun saat itu Soppeng masih merupakan daerah yang terpecah-pecah sebagai suatu kerajaan2 kecil. Hal ini dapat dilihat dari jumlah Arung,Sulewatang, dan Paddanreng serta Pabbicara yang mempunyai kekuasaan tersendiri. Setelah kerajaan Soppeng terbentuk maka dikoordinir oleh Lili-lili yang kemudian disebut Distrikvdi Zaman Pemerintahan Belanda.

Literatur yang ditulis tentang sejarah Soppeng masih sangat sedikit. Sebagaimana tentang daerah-daerah di Limae Ajattappareng, juga Mandar dan Toraja, Soppeng hanyalah daerah “kecil” dan mungkin “kurang signifikan” untuk diperebutkan oleh dominasi dua kekuatan di Sulawesi Selatan yakni Luwu dan Siang sebelum abad ke-16. Namun demikian, seperti disebutkan oleh sebuah kronik Soppeng, dulunya Soppeng bersama Wajo, sangat bergantung kepada kerajaan Luwu.

Seiring menguatnya kekuatan persekutuan Goa-Tallo di Makassar; untuk mengimbanginya, Bone sempat mengajak Wajo dan Soppeng membentuk persekutuan Tellumpocco pada perjanjian Timurung tahun 1582. Akan tetapi, masuknya Islam di Sulawesi Selatan di paruh akhir abad ke-16, ditandai dengan masuknya Karaeng Tallo I Mallingkang yang lebih dikenal sebagai Karaeng Matoaya serta penguasa Goa I Manga’rangi yang kemudian bergelar Sultan Alauddin, telah merubah peta politik di Sulawesi Selatan. Untuk sementara, kekuatan Bugis Makassar menjadi satu kekuatan baru untuk melawan orang kafir ketika Soppeng dan Sidenreng memeluk Islam tahun 1609, Wajo 1610 dan akhirnya Bone pada tahun 1611.

Perkembangan berikutnya sepanjang abad ke-17, menempatkan Soppeng pada beberapa perubahan keputusan politik ketika persaingan Bone dan Goa semakin menguat. Jauh sebelum perjanjian Timurung yang melahirkan persekutuan Tellumpocco, sebenarnya Soppeng sudah berada di pihak kerajaan Goa dan terikat dengan perjanjian Lamogo antara Goa dan Soppeng. Persekutuan Tellumpocco sendiri lahir atas “restu” Goa. Namun, ketika terjadi gejolak politik antara Bugis dan Makassar disebabkan oleh gerakan yang dipelopori oleh Arung Palakka dari Bone, Soppeng sempat terpecah dua ketika Datu Soppeng, Arung Mampu, dan Arung Bila bersekutu dengan Bone pada tahun 1660 sementara sebagian besar bangsawan Soppeng yang lain menolak perjanjian di atas rakit di Atappang itu.

Cuplikan kecil sejarah Soppeng di abad 16-17 yang terekam di dalam beberapa literatur penting. Sayangnya, walaupun buku kecil ini memuat subyek sejarah di judul kecilnya, alur fragmen penting sejarah Soppeng, minimal rangkumannya, tidak disentuh sama sekali kecuali kutipan Lontara Soppeng yang menuliskan silsilah raja-raja Soppeng mulai dari La Temmamala ManurungngE ri Sekkannyili yang menjadi raja pertama di sekitar tahun 1300 sampai raja-raja Soppeng berikutnya yang berakhir di tahun 1957 serta beberapa catatan kecil lainnya. Namun, ada beberapa hal unik yang diceritakan di dalam di buku ini. Sebagaimana sejarah Sulawesi Selatan pada umumnya, proses terbentuknya komunitas masyarakat di Soppeng juga menyerupai daerah-daerah lainnya. Dimulai dari masa sianre balei tauwe sampai masa tomanurung, Lontara Soppeng juga memulai catatannya dengan cara sama, bahwa komunitas “resmi” orang Soppeng adalah ketika Matoa Ujung, Matoa Botto dan Matoa Bila bersama ketua persekutuan lainnya melantik tomanurung sebagai raja.
Menurut kronik ini, daerah Soppeng sebenarnya adalah daerah urban. Penduduk asli yang mendiami daerah ini semula berasal dari dua tempat, Sewo dan Gattareng. Kedua kelompok ini meninggalkan daerahnya masing-masing dan hidup berdampingan di Soppeng, kelompok yang datang dari daerah Sewo disebut orang Soppeng Riaja, dan kelompok yang berasal dari Gattareng disebut orang Soppeng Rilau. Mereka kemudian dipimpin oleh kepala-kepala persekutuan di kedua daerah masing-masing yang jumlahnya enam puluh orang pada waktu itu.

Belakangan, muncul seorang tomanurung di Sekkannyilli (wilayah Soppeng Riaja). Ketua-ketua persekutuan Soppeng Riaja dan Soppeng Rilau kemudian sepakat untuk mengangkat tomanurung tersebut sebagai raja. Sayangnya, ManurungngE ri Sekkannyili “menolak” penunjukan tersebut kecuali dengan tiga syarat: tidak dikhianati, tidak disekutukan, dan mengangkat sepupu sekalinya yang juga tomanurung di Libureng (wilayah Soppeng Rilau) sebagai raja di Soppeng Rilau. Dan begitulah, wilayah Soppeng pertama kali dipimpin oleh dua raja “kembar” tomanurung melalui pembagian wilayah kekuasaan. Selanjutnya, setelah kematian kedua raja ini, keturunan merekalah berdua yang silih berganti melanjutkan pemerintahan dengan menggabungkan wilayah Soppeng Riaja dan Soppeng Rilau ke dalam satu wilayah kekuasaan yang kemudian disebut Soppeng saja.

Hal unik lain dalam buku ini adalah pesan-pesan Arung Bila, sosok yang sangat dikenal melalui cerita-cerita rakyat dan di dalam berbagai kronik di Sulawesi Selatan khususnya lontara-lontara di Soppeng. Bahkan, buah pikiran Arung Bila sempat dimuat di dalam buku Dr. B.F. Mathes Boegineshe Christomathie yang diterbitkan di Amsterdam tahun 1872. Arung Bila diakui sebagai tomaccana to Soppeng (orang pintarnya Soppeng). Pikiran-pikiran Arung Bila telah mewarisi masyarakat Soppeng tata pemerintahan dan tata masyarakat yang beradab.

Namun siapakah Arung Bila yang dimaksud, belum ada yang bisa memastikan karena banyaknya bangsawan yang bernama Arung Bila di dalam sejarah kerajaan Soppeng. Riwayatnyapun tidak ada yang ditulis di dalam lontara. Beberapa sejarawan daerah mengatakan bahwa yang dimaksud Arung Bila di dalam kronik-kronik yang menuliskan ajaran-ajarannya adalah “La Maniaga”, namun ada pula yang mengatakan bahwa “La Taweng” atau “La Wadeng”. Dan membaca ajaran-ajarannya, sepertinya Arung Bila ini juga bukanlah bangsawan Soppeng yang mengambil keputusan politis untuk bersekutu dengan Bone pada tahun 1660 seperti dalam kutipan di atas.

Namun, lepas dari ketidakjelasan identitasnya, Arung Bila tomaccana to Soppeng sudah menjadi sumber tradisi yang kokoh bagi masyarakat Soppeng maupun masyarakat Sulawesi Barat dan Selatan pada umumnya. Ajaran-ajarannya tentang pangadereng (perihal adat istiadat) bukan hanya menyangkut tata pemerintahan dan hubungan antara raja dan rakyat, tetapi juga hubungan sesama anggota masyarakat, hubungan anak dan orang tua, bahkan hubungan antara suami dan istri.

GEOGRAFIS
Soppeng terletak pada depresiasi sungai Walanae, yang terdiri dari daratan dan perbukitan, dengan luas daratan ± 700 km² serta berada pada ketinggian rata-rata antara 100-200 [meter|m]] di atas permukaan laut.

Luas daerah perbukitan Soppeng kurang lebih 800 km² dan berada pada ketinggian rata-rata 200 m di atas permukaan laut. Ibukota Kabupaten Soppeng adalah kota Watansoppeng yang berada pada ketinggian 120 m di atas permukaan laut.


Kabupaten Soppeng tidak memiliki wilayah pantai. Wilayah perairan hanya sebagian dari Danau Tempe. Gunung-gunung yang ada di wilayah Kabupaten Soppeng menurut ketinggiannya adalah sebagai berikut: